- September 24, 2019
- Posted by: Fernando Oktareza
- Category: Artikel, Budaya, News
Smart Palembang – Kejar tayang proses pengesahan berbagai Rancangan Undang-Undang (RUU) dilakukan oleh anggota DPR RI menjelang berakhirnya masa jabatan periode 2014-2019 Selain merevisi UU KPK, UU KUHP, UU Minerba dan Undang-Undang lainnya.
Lembaga perwakilan rakyat bersama pemerintah juga telah menjadwalkan pengesahan RUU Penanaman. Kebut-kebutan dua minggu menjelang lengser akan berdampak pada cacatnya regulasi yang akan diterapkan secara nasional temasuk di Provinsi Sumatera Selatan.
Kajian RUU Pertanahan yang dilakukan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Selatan bersama dengan Simpul Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Provinsi Sumatera Selatan, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumatera Selatan, Solidaritas Perempuan (SP) Palembang, LP3HAM, menyebutkan masih banyak permasalahan substantif dalam RUU Pertanahan ini yang dapat bertolakbelakang dengan semangat reforma agraria dan pengelolaan lingkungan hidup serta sumber daya alam yang baik.
Dr. Tarech Rasyid mengatakan bahwa RUU Pertanahan yang akan dibahas dan disahkan ini lemah konsideran yang mendasari pembentukannya dalam konteks aspek yuridis, filosofis dan sosiologis.
Catatan Akhir Tahun Lingkungan Hidup Sumatera Selatan (WALHI Sumatera Selatan 2018) menyebutkan Sumatera Selatan darurat ekologis dimana pemicunya disebabkan oleh penyimpangan tata ruang dan konflik agraria yang tak kunjung selesai.
Direktur Eksekutif WALHI Sumatera Selatan, M. Hairul Sobri, menilai RUU Pertanahan tidak menjawab krisis agraria di Sumatera Selatan.
“Permasalahan lingkungan hidup yang bantuan kepada konflik agraria dan bencana lingkungan membutuhkan mekanisme penelesuran dari hulu ke hilir. Kuasa negara dalam memfasilitasi investasi korporasi skala besar melalui HGU adalah akar masalahnya dan harus ada batasan yang jelas untuk mengaturnya, temasuk keterbukaan informasi HGU pada publik, hal tersebut tidak terlihat dari RUU Pertanahan ini, bahkan pendekatan legal formal yang dilakukan negara akan mengancam posisi masyarakat lokal yang bergantung dengan tanah sebagai sumber penghidupan,” ujar M. Hairul Sobri.
Menurutnya, RUU Pertanahan juga tidak tugas untuk memastikan perencanaan tata ruang yang benar ditingkatan daerah, dan cermat atas kecenderungan faktor ekonomi lebih dominan dalam prospektif penyusunan tata ruang selama ini.
Penyelesaian daftar panjang konflik agraria di Sumatera Selatan bisa dijadikan contoh berjalannya di tempat upaya penyelesaian konflik masyarakat atas kekuasaan korporasi skala besar.
Oleh sebab itu RUU ini masih mengandung permasalahan substansi yang jauh dari harapan reforma agraria dan pengelolaan lingkungan hidup serta sumber daya alam yang baik. Berbagai argumentasi dan catatan kritik yang disampaikan diatas adalah alasan Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Selatan untuk MENOLAK RUU PERTANAHAN.